Translate

Laman

Thursday, November 30, 2017

makalah pemerintahan dan hubungan sipil-militer

PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN SIPIL DAN MILITER

Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
          Mata Kuliah: pancasila
Dosen Pengampu: Neti Herawati, S.H


Disusun Oleh:
1.      Tri Dita Mulyani

Kelompok 7/Kelas C


PRODI EKONOMI ISLAM
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO
TAHUN 2012



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah kewarganegaraan. Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang “Pemerintahan Dan Hubungan Sipil dan Militer” 
 Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa lainnya.























DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..............................................................................        i
DAFTAR ISI............................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................        1
A.     Latar belakang..............................................................................        1
B.     Rumusan masalah........................................................................        1
C.     Tujuan..........................................................................................        1
BAB II PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN SIPIL-MILITER........        2
A.     Munculnya Pemerintahan.............................................................       2
B.     Tujuan Utama Terbentuknya Pemerintahan..................................       3
1.      Pemerintahan Sipil...................................................................        3
a.       Karakteristik dan Prinsip Dasar Demokrasi Konstitusional.      4
b.      Nilai-Nilai Fundamental Demokrasi Konstitusional............       5
c.       Bentuk Pemerintahan Sipil..................................................        6
2.      Pemerintahan Militer................................................................        7
a.       Model Pemerintahan Militer (Pretorianisme)......................       7
b.      Trias Politika.......................................................................        9
3.      Hubungan Sipil-Militer di Indonesia........................................        12
4.      Model dan Faktor Intervensi....................................................        13
5.      Militer dan Hambatan Demokratisasi.......................................        14
BAB III PENUTUP..................................................................................        15
A.     Kesimpulan..............................................................................................        15
B.     Saran.........................................................................................................        16
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................        17






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa “manusia adalah mahluk sosial”. Sebelum mengenal pemerintahan manusia hidup dalam suasana konflik untuk mempertahankan diri sendiri. Hobbes menjelaskan konflik-konfik itu sebagai suatu keadaan peran perang antara “semua melawan semua”. Huru hara tidak bisa dihindarkan, mereka yang kuatlah yang menikmati kebebasan. Fase awal pemberian sanksi hukuman dilakukan melalui tindakan  penyiksaan fisik seperti: potongan tangan, cambuk dan penyaliban.
Dalam perkembangan selanjutnya sejalan dengan pesatnya peradaban manusia yang semakin menyadari makna harga dari keberadaan sebuah pribadi yang tidak layak untuk ditukar  mutlak dengan kesalahan atau kejahatan yang telah dilakukannya,maka diciptakanlah institusi yang lebih berfungsi sebagai usaha perbaikan atau rehabilitas yaitu penjara. tidak ada pemerintahan tanpa hukum, dan tidak ada hukum tanpa pemerintahan. Hukum adalah jiwa dari setiap kekuasaan negara. Maka dari itu penulis menyusun makalah yang berjudul “Pemerintahan Dan Hubungan Sipil-Militer”.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana terbentuknya Pemerintah ?
2.      Apa saja bentuk-bentuk pemerintah sipil dan militer?
3.      Bagaimana hubungan sipil-militer di Indonesia?

C.      Tujuan
1.      Mengetahui bagaimana terbentuknya pemerintahan.
2.      Mengetahui bentuk-bentuk pemerintahan sipil-militer di Indonesia.
3.      Mengetahui hubungan sipil-militer di Indonesia.





BAB II
PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN SIPIL-MILITER

A.    Munculnya Pemerintahan
Seorang manusia tidak dapat hidup sendiri dan manusia tidak terlepas dari peraturan dan norma sehingga kebebasan seseorang akan dibatasi oleh kebebasan orang lain dan kemudian oleh Ibnu Khaldun disimpulkan bahwa “manusia adalah mahluk sosial”. Sebelum mengenal pemerintahan yang sekarang ini manusia hidup dalam suasana konflik untuk mempertaahankan diri sendiri. Pemaksaan dan pelanggaran hak orang lain dilakukan oleh mereka yang kuat terhadap yang lemah. Hobbes menjelaskan konflik-konflik itu sebagai suatu keadaan peran perang antara “semua melawan semua”. Huru hara tidak bisa terhindarkan, mereka yang kuatlah yang menikmati kebebasan. Sampai lahir kesadaran dari kalangan dari kalangan orang kuat yang menjadi orang bijaksana untuk menciptakan situasi masyarakat yang teratur dan bagaimana ketertiban itu dapat dipelihara. Pelaku tindak kejahatan harus dihukum.
Berdasarkan kesepakatan itu dibuatlah prinsip-prinsip nilai yang kelak dapat dianggap sebagai aturan hukum dan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya yang disepakati bersama oleh semua anggota masyarakat. Pada fase awal pemberian sanksi hukuman dilakukan melalui tindakan penyiksaan fisik seperti potongan tangan, cambuk dan penyaliban. Dalam perkembangan selanjutnya sejalan dengan pesatnya peradaban manusia yang semakin menyadari makna harga dari keberadaan sebuah pribadi yang tidak layak untuk ditukar mutlak dengan kesalahan atau kejahatan yang telah dilakukannya, maka diciptakanlah institusi yang lebih berfungsi sebagai usaha perbaikan atau rehabilitasi  yaitu penjara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa produk pertama dari pemerintahan modern setelah dibuatnya “hukum” adalah penjara. Dari perspektif ini munculnya suatu negara atau pemerintahan pada awalnya ketika lahirnya kebutuhan bersama manusia akan ketertiban hidup dan aturan-aturan hukum yang berlaku secara sah. Keberadaan suatu negara atau pemerintahan tergantung kepada ada atau tidaknya hukum ysng menjadi aturan masyarakat di dalamnya. Artinya, tidak ada pemerintahan tanpa hukum, dan tidak ada hukum tanpa pemerintahan. Hukum adalah jiwa dari setiap kekuasaan negara.
B.     Tujuan Utama Terbentuknya Pemerintahan
Dalam kehidupan manusia terdapat tiga hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Ketiga hak dasar tersebut adalah hak untuk hidup(life) tanpa rasa takut dan ancaman dari siapa pun, hak untuk hidup bebas (liberty) untuk berbicara dan berekspresi, untuk beragama dan bercita-cita dan sebagainya, dan hak untuk memiliki sesuatu (property) baik materi maupun non material.
                 Menurut filsuf Barat John Lock, tujuan asasi adalah untuk melindungi HAM. Dengan pengertian lain bahwa tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban dimana masyarakat bisa menjalani kehidupan mereka secara wajar. Pada hakikatnya pemerintahan dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya untuk mencapai kemajuan bersama. Artinya, pemerintahan demokratis merupakan suatu pemerintahan di mana warganegaralah sesungguhnya otoritas atau kewenangan suatu pemerintahan berasal.

1.        Pemerintahan Sipil
Secara etimologi kata pemerintahan diartikan sebagai badan yang melakukan kekuasaan memerintah. Kata “perintah” mengandung pengertian adanya dua pihak yang memerintah memiliki wewenang dan pihak yang diperintah memiliki kepatuhan.
                 Istilah pemerintahan sipil digunakan sebagai kebalikan dari istilah pemerintahan militer.kedua istilah ini muncul ketika terjadi pembahasan tentang pola hubungan antara elit sipil yang diwakili oleh para politisi yang dipilih rakyat dalam pemilihan umum (pemilu) dengan elit militer dalam suatu pemerintahan. Walaupun sipil dan militer memiliki fungsi yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan dari roda pemerintahan suatu negara.
                 Karakter umum intervensi militer yang berlebihan terhadap jalannya suatu pemerintahan sipil secara normatif biasa disebut dengan istilah pretorianisme.





Menurut Nordlinger, pemerintahan pretorianisme atau pemerintahan militer sangat egalitarian, kebebasan dan kelembagaan liberal yang dimiliki oleh pemerintahan sipil. Unsur-unsur demokrasi lainnya yang terdapat dalam pemerintahan sipil adalah adanya kebebasan beroposisi dan keadaan pemerintahan dapat berlangsung jika keberadaan pihak sipil dihormati dan pemerintahan sipil dijalankan.
Sebaliknya, pemerintahan militer pada umumnya memiliki karakteristik membatasi hak berpolitik, kebebasan dan persaingan.

a.      Karakteristik dan Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi Konstitusional
Karakteristik dari demokrasi konstitusional adalah adanya unsur-unsur demokrasi di dalamnya yang berbasis pada prinsip-prinsip:
1)      Demokrasi populis (Popular Democracy) yaitu menempatkan warga negara sebagai sumber utama otoritas pemerintahan yang mendapatkan hak untuk menjalankan roda pemerintahan dari rakyat.
2)      Mayoritas berkuasa dan hak minoritas (Majority Rule and Minority Rights) yaitu sekalipun pemerintahan dijalankan oleh suara mayoritas, namun hak-hak dasar individu dari kelompok minoritas dilindungi.
3)      Pembatasan pemerintahan (limited Government), yaitu adanya pembatasan kekuasaan pemerintah yang diatur oleh undang-undang dan konstitusi baik tertulis maupun tak tertulis.
4)      Kekuasaan yang dibatasi oleh mekanisme dan institusi (Institusional and Procedural Limitations on Power), yaitu adanya kepastian institusi dan prosedural yang membatasi kekuasaan pemerintah yang meliputi 4 unsur:
a)      Pemisahan dan pembagian kekuasaan berdasarkan fungsinya masing-masing yang meliputi kekuasaan lgislatif, eksekutif dan yudikatif.
b)      Kontrol dan Keseimbangan (Checks and Balances) yaitu bahwa ketiga lembaga pemerintahan ini memiliki hak yang sama untuk saling melakukan kontrol sehingga tercipta keseimbangan peran dalam pemerintahan.
c)      Proses Hukum (Due Process Of Law), yaitu keberadaan HAM dilindungi oleh adanya jaminan proses hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga hukum.
d)      Suksesi Kekuasaan Melalui Pemilihan Umum (Leadership Sucession Through Election),yaitu posisi penting dalam pemerintahan (misalnya presiden dan wakilnya) ditentukan dan dijamin melalui mekanisme pemilihan umum yang dilakukan secara bertahap, dan peralihan otoritas kekuasaan dilakukan secara damai dan tertib.

b.      Nilai-Nilai Fundamental Demokrasi Konstitusional          
Pada dasarnya nilai-nilai fundamental demokrasi konstitusinal merupakan pancaran dari nilai-nilai martabat kemanusiaan dan nilai-nilai yang dimiliki setiap orang yakni:
1)      Hak-hak Dasar (Basic Rights), yaitu bahwa tugas utama suatu pemerintahan demokrasi adalah melindungi hak-hak fundamental manusia: hak hidup, hak mendapatkan kebebasan dan hak memiliki.
2)      Kebebasan Berekspresi dan Berkesadaran (Freedom of Conscience and Expression) sebagaimana keduanya mendasari nilai-nilai konstitusi demokrasi tentang hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan hak untuk mengembangkan diri.
3)      Privasi dan Masyarakat Sipil (Privacy and Civil Society) yaitu adanya perlindungan atas kesatuan antara hak pribadi dan sosial yang meliputi keluarga, pribadi, agama, organisasi dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya.
4)      Keadilan (Justice) yang meliputi:
a)      Pemerataan keadilan (Distributive justice)
b)      Kebenaran keadilan (Corrective justice) atau keputusan hukum yang adil dan tepat sasaran.
c)      Mekanisme keadilan (procedural justice) atau keputusan hukum yang dilakukan secara adil melalui lembaga-lembaga hukum.
5)      Persamaan (Equality) yang meliputi:
a)      Persamaan dalam partisipasi politik, yakni kesamaan hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.
b)      Persamaan dihadapan hukum atau tidak adanya diskriminasi hukum yang didasari oleh perbedaan gender, ras, usia, agama, etnis, afiliasi politik dan kelas sosial.
c)      Persamaan ekonomi atau semua warga negara memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan mendapatkan pelayanan dari negara dalam memajukan kehidupan ekonominya.
6)      Keterbukaan (Openess) bahwa demokrasi konstitusional dilandasi oleh filsafat politik keterbukaan atau kebebasan berpendapat, dan ketersediaan informasi melalui pers yang bebas dan kebebasan berekspresi dalam segala lapangan kehidupan.

c.       Bentuk Pemerintahan Sipil

1)      Model Tradisional
Adalah pemerintahan yang tidak memiliki perbedaan yang jelas antara elit sipil dan militer. Sekalipun kedua golongan ini berbeda, dimana umumnya mereka memegang salah satu peran kekuasaan saja, namun kepentingan dan pandangan mereka tentang kekuasaan sama. Karena tidak ada perbedaan prinsipil inilah konflik serius antara sipil dan militer pada waktu itu tidak terjadi. Dengan demikian tidak terjadi campur tangan militer terhadap elit sipil dalam kerajaan.

2)      Model Liberal
Adalah pemerintahan yang mendasarkan pada pemisahan para elitnya menurut keahlian dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan jabatannya dalam pemerintahan. Posisi militer dalam model pemerintahan ini berada di bawah kendali sipil, kekuasaannya dibatasi pada tanggung jawab mempertahankan negara dari serangan luar dan kekacauan yang timbul di dalam negeri.
Terdapat prinsip penting yang harus dijalankan oleh elit pada model liberal ini, yakni prinsip untuk tidak melakukan intervensi terhadap persoalan-persoalan profesional militer.

3)      Model Serapan
Model ini adalah suatu pemerintahan sipil dengan karakteristik kebijakan sipil untuk mendapatkan pengabdian dan loyalitasnya melalui penanaman ide dan penempatan para ahli politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata.

Model pemerintahan ini  telah dapat dipraktikkan secara meluas dalam rezim-rezim komunis. Prinsip pemerintahan model ini adalah partai (sipil) harus menguasai senjata dan senjata tidak akan dibenarkan untuk menguasai partai.


2.        Pemerintahan Militer (Pretorianisme)
Konsep pemerintahan militer lebih banyak mengacupada fenomena keterlibatan atau intervensi militer dalam arena politik atau urusan-urusan pemerintahan suatu negara. Alasan keterlibatan ini menurut Nordlinger disebabkan oleh pandangan subyektif kaum militer. Peranan tentara dalam pemerintahan sipil dikenal dengan istilah Pretorianisme. Istilah ini sering digunakan dalam pembahasan tentang peran militer dalam suatu pemerintahan, atau diartikan dengan pengertian pemerintahan militer.
Campur tangan militer terhadap pemerintahan sipil melalui beberapa cara yang kemudian menjadi ciri khas rezim militeristik. Diantara bentuk campur tangan militer itu antara lain:
a)      Ancaman militer st653ecara terang-terangan untuk tidak melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil jika tuntutan mereka ajukan dikabulkan.
b)      Mengambil alih kekuasaan pemerintah dan mengubah rezim sipil menjadi rezim militer. Ciri-ciri rezim :
1)      Tentara mendapatkan kekuasaannya melalui kudeta.
2)      Para pejabat tinggi negara telah bertugas atau terus bertugas dalam angkatan bersenjata.
3)      Pemerintahan masih terus bergantung kepada dukungan perwira militer aktif dalam mempertahankan kekuasaaannya.

a.      Model Pemerintahan Militer (Pretorianisme)

1.      Moderator Pretorian
Ciri khasnya model ini adalah mereka menggunakan hak veto atas keputusan pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. Dalam hal hubungan mereka dengan elit sipil, kadangkala mereka menggunakan ancaman kudeta terhadap pemerintahan sipil apabila terjadi ketidaksepakatan.
Model ini mencoba menghindarkan dirinya untuk menguasai atau mendominasi pemerintahan secara penuh. Prilaku politik mereka hanya sebatas mempertahankan status quo, menjaga keseimbangan atau ketidak seimbangan kekuasaan diantara fraksi-fraksi atau kelompok politik sipil yang bersaing, menjalankan UUD dalam kehidupan politik dan kelembagaan, melarang setiap percobaan penting dalam hal pengalihan hasil ekonomi, dan menjaga stabilitas politik dan pemerintahan.
Moderator ini lebih memfokuskan kepada pengaruh konflik politik. Di kawasan Amerika Latin kudeta suksesi oleh militer sering terjadi apabila suatu golongan sipil yang baru berkuasa mencoba melakukan perubahan penting dalam pengalihan kekuasaan politik.

2.      Pengawal Pretorian
Model pengawal pretorian bersifat reaksioner terhadap kebijakan sipil ketika menjalankan pemerintahannya. Setelah para moderator berhasil menggulingkan kekuasaan pemerintah, mereka mengubah diri sebagai pengawal proterian, sebelum akhirnya berkuasa penuh atas pemerintahan.
Setelah menggulingkan elit sipil, umumnya kelompok ini akan memegang tampuk pemerintahan dalam periode singkat, antara dua sampai empat tahun. Seperti halnya kelompok pertama, kalangan pengawal pretorian tidak setuju dengan perubahan politik serta akan mempertahankan aturan politik lama. Perbedaan mencolok kelompok ini adalah keyakinan mereka bahwa sasaran atau agenda politik yang mereka canangkan akan lebih mudah dicapai apabila mereka sendiri yang menguasai pemerintahan.
Sebagai kelompok reaksioner mereka berusaha melakukan perubahan-perubahan, prinsip-prinsip dasar dalam politik, ekonomi dan kehidupan sosial. Namun seluruh agenda perubahan yang mereka lakukan tetap dalam koridor membatasi kegiatan dan hak sipil. Bagi kelompok ini, perubahan mendasar dalam hal-hal tersebut tidaklah dibutuhkan, karena mereka tidak menganggap penting untuk sebuah rezim yang dapat menguasai orang banyak.



3.      Penguasa Proterian
Perbedaan model kelompok ini dengan yang lainnya adalah luasnya wilayah kekuasaan serta tingginya cita-cita politik dan ekonomi yang mereka agendakan. Model ini menguasai pemerintahan dan mendominasi rezim yang berkuasa. Tingginya kekuasaan penguasa proterian ini kadangkala mereka menganggap dirinya sebagai kelompok modernis radikal atau revolusioner.
Kelompok pengawal proterian berkuasa dalam tempo sementara dan berjanji akan mengembalikan kekuasaan ke tangan sipil dalam waktu singkat, sebaliknya  penguasa proterian tidaklah demikian, umumnya mereka mengatakan bahwa rezim sipil akan dipulihkan kembali.

b.      Trias Politika
Trias politika adalah pemisahan kekuasaan (separation of powers) dalam suatu pemerintahan suatu negara kedalam tiga lembaga:
a)      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
b)      Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
c)      Kekuasaan Yudikatif (mengadili atas pelanggaran undang-undang).
Secara normatif Trias Politika adalah suatu prinsip bahwa kekuasaan-kekuasaan tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak azasi warga negara lebih terjamin. Doktrin ini pertama kali dikenalkan oleh John Locke (1632-1784) dan Montesquieu (1689-1755).

Tugas dan Wewenang Lembaga-Lembaga Pemerintah

(a)   Legislatif
Badan legislatif adalah badan yang membuat undang-undang. Anggotanya dinamakan Dewan Perwakilan Rakya (DPR) atau parlemen. Badan legislatif dapat dikatakan sebagai badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum (rakyat) yang mengikat seluruh masyarakat.Badan legislatif dipilih melalui pemilu dan berdasarkan sistem kepartaian.
Prinsip pokok sistem pemilihan umum:
(1)   Single-member contituency atau sistem pemilu distrik yaitu satu daerah pemilihan memilih satu wakil.
(2)   Multi-member constituency atau sistem proporsional yaitu suatu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional.
Fungsi badan legislatif:
(1)   Menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. Untuk ini DPR diberikan hak inisiatif, hak mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang, dan hak budget.
(2)   Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan, mensahkan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh badan eksekutif dan menuntut dan mengadili pejabat tinggi, termasuk presiden.
Hak-hak badan Legislatif:
(1)   Hak bertanya
(2)   Hak interpelasi: meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaannya tentang suatu bidang.
(3)   Hak angket:anggota badan legislatif berhak mengadakan penyekidikan sendiri.
(4)   Hak mosi: umumnya hak ini merupakan hak kontrol paling ampuh. Jika badan legislatif menerima suatu mosi tidak percaya, maka dalam sistem parlementer kabinet harus mengundurkan diri.

(b)   Eksekutif
Badan eksekutif terdiri dari kepala negara beserta menteri-menterinya. Badan eksekutif dalam arti luas mencakup para pegawai negeri sipil dan militer. Dalam sistem presidensial menteri-menteri merupakan pembantu presiden dan langsung di pimpin olehnya, sedangkan sistem parlementer para menteri di pimpin oleh seorang perdana menteri.
Tugas badan eksekutif menurut asas trias politika yaitu hanya melaksanakan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif.

Wewenang badan eksekutif:
(1)   Diplomatik: menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.
(2)   Administratif: melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya dan menyelenggarakan administrasi negara.
(3)   Militer: mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang serta keamanan dan pertahanan negara.
(4)   Yudikatif: memberi grasi, amnesti dan sebagainya.
(5)   Legislatif: merencanakan rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.

(c)    Yudikatif
Lembaga yudikatif memiliki wewenang judisial yang bertugas menjalankan kehakiman, baik di lapangan hukum publik (pidana,administrasi negara) dan di lapangan hukum privat (perdata, dagang) baik dikalangan sipil maupun militer.

Ketentuan dasar mengenai organ dan wewenang kehakiman:
Pasal 24:
1.      Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
2.      Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dalam undang-undang.


Pasal 25:
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhatikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

3.        Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
Menurut ikrar Nusa Bhakti, secara umum di negara-negara barat terdapat model hubungan sipil-militer yang menekankan “supremasi sipil atas militer” atau militer adalah sub ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Pada kenyataannya makna hubungan sipil-militer di Inndonesia lebih mengandung pengertian adanya “kerja sama”, “hubungan kemitraan”, atau “keselarasan antara sipil dan militer”. Secara historis pola hubungan sipil-militer Indonesia lebih banyak pembagian peran antara sipil-militer yang sangat nyata pada masa revolusi kemerdekaan.
                 Keikutsertaan militer dalam penataan sosial dan administrasi dimasa revolusi melahirkan dwi fungsi ABRI, artinya banyak tentara menjalankan fungsi politik maupun pemerintahan.
                 Pada periode selanjutnya konsep dwifungsi ABRI berasal dari konsepsi “jalan tengah”yang dikemukakan pimpinan Angkatan Darat (AD) Jenderal A.H. Nasution, November 1958. Konsep jalan tengah ini pada dasarnya menyatakan bahwa keterlibatan ABRI dalam pembinaan negara bukanlah untuk mendominasi dan memonopoli kekuasaan.
                 Pola dwifungsi tidak hanya terjadi di kalangan militer, tetapi juga dikalangan sipil Indonesia. Munculnya laskar-laskar rakyat di masa revolusi, satuan-satuan tugas (satgas) partai dan duduknya gubernur atau wakil gubernur militer di berbagai daerah menjadi fakta sejarah adanya tradisi peran ganda dikalangan sipil. Besarnya intervensi militer dimasa orde baru,ABRI tampil sebagai kekuatan politik yang paling dominan. Dwifungsi ABRI telah diterjemahkan secara sangat fleksibel, sehingga membuka peluang seluas-luasnya bagi kalangan ABRI untuk berperan diberbagai bidang non-Hankam. Keterlibatan ABRI tidak hanya dibidang tidak hanya di bidang eksekutif, tetapi juga dibidang legislatif, yudikatif dan bahkan diberbagai bidang ekonomi dan sosial termasuk olahraga.
Dalam sejarah politik Indonesia pada masa demokrasi parlementer, partai politik pernah mendominasi dan mengontrol militer secara subyektif. Dengan kata lain kontrol subyektif sipil terhadap militer telah terjadi secara mendalam dalam tubuh militer, termasuk dalam masalah penentuan posisi jabatan di dalam stuktur TNI, khususnya angkatan darat. 
                                 
4.        Model dan Faktor Intervensi Militer
1)      Model intervensi
                               a.      Saluran  konstitusi yang resmi
                               b.      Kolusi dan atau kompetensi dengan otoritas sipil
                               c.      Intimidasi terhadap otoritas sipil
                               d.      Ancaman nonkooperasi dengan keharusan terhadap otoritas sipil
                               e.      Penggunaan kekerasan pada otoritas sipil

2)      Faktor-faktor yang mendorong militer melakukan intervensi
                               a.      Faktor internal ABRI
a)      Intervensi kalangan perwira militer karena dilandasi ole motivasi untuk membela atau memajukan kepentingan militer yang berlawanan dengan norma konstitusi.
b)      Intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas untuk membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah yang darinya mereka berasal.
c)      Kemahiran profesional dikalangan militer menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kelompok sipil.
d)      Intervensi militer dalam politik sebagai sebab ambisi pribadi perwira-perwira yang haus wibawa dan kuasa.
                               b.      Faktor eksternal ABRI
a)      Intervensi militer dalam politik sebagai akibat dari struktur politik masyarakat yang masih rendah dan rentan.
b)      Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah atau kelompok sipil dipandang tidak mampu memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas politik.

c)      Kelompok sipil dianggap tidak mampu melakukan modernisasiekonomi.
d)      Terjadinya disintegrasi nasional.
                                           
5.        Militer dan Hambatan Demokratisasi
Suatu negeri dikatakan telah menjadi demokratis jika didukung oleh fondasi politik, sosial dan ekonomi yang kuat.tetapi untuk menuju ke arah demokratisasi harus ditopang oleh kekuatan-kekuatan pembebas.
Untuk mewujudkan tatanan demokrasi seluruh struktur kepentingan perlu melibatkan diri salah satunya adalah unsur angkatan bersenjata atau militer yang ingin menjaga otonomi institusinya dan kelompok lainnya seperti: kaum borjusi, teknokrat dan polisi, dan kelas pekerja.
Monshipouri mencatat faktor-faktor penghambat demokrasi yang salah satunya berasal dari institusional-institusional yang meliputi empat aspek terdiri dari negara, militer, agama, dan birokrasi. Menurutnya peran militer dalam menentukan suatu bangsa akan menjadi demokrasi, totalitarian atau otoritarian sangatlah penting. Maka dari itu kalangan militer harus terlibat aktif bagi lahirnya masyarakat sipil melalui komitmen dan partisipasi militer.
Untuk menjalankan komitmen demokrasi dalam perspektif hubungan sipil-militer harus memfokuskan pada terciptanya supremasi sipil (civilan supremacy) yang dijalankan oleh para politisi sipil yang dipilih rakyat dalam pemilu. Perundang-undangan yang mengatur peran dan wewenang militer dalam negara perlu dibentuk untuk melakukan kontrol obyektif sipil atas militer. Dan tak kalah pentingnya kontrol masyarakat dan komponen-komponennya seperti pers dan LSM yang bertujuan untuk menghindari kemungkinan munculnya kolusi antara elit sipil dengan elit militer baik dalam perumusan UU maupun pelaksanaannya.








BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Manusia pada dasarnya membutuhkan bantuan orang lain. Jadi, manusia adalah mahluk sosial. Sebelum mengenal pemerintahan manusia hidup dalam suasana konflik untuk mempertaahankan diri sendiri. Pemaksaan dan pelanggaran hak orang lain dilakukan oleh mereka yang kuat terhadap yang lemah. Secara etimologi kata pemerintahan diartikan sebagai badan yang melakukan kekuasaan memerintah. Kata “perintah” mengandung pengertian adanya dua pihak yang memerintah memiliki wewenang dan pihak yang diperintah memiliki kepatuhan.
Pemerintahan dibentuk menjadi 2 bagian yaitu:
1.      Pemerintahan sipil
Didalam pemerintahan sipil ada tiga  model pemerintahan yaitu:
a)      Model tradisional adalah pemerintahan yang tidak memiliki perbedaan yang jelas antara elit sipil dan militer.
b)      Model liberal adalah pemerintah yang berdasar pada pemisahan para elit menurut keahlian dan tanggung jawab sesuai dengan jabatannya.
c)      Model serapan adalah suatu pemerintahan sipil dengan karakteristik kebijakan sipil untuk mendapatkan pengabdian dan loyalitas melalui ide.
2.      Pemerintahan militer
Dalam pemerintahan militer ada tiga model pemerintahan yaitu:
a)      Moderator pretorian adalah pemerintahan militer menggunakan hak veto atas keputusan pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan.
b)      Pengawal pretorian adalah kelompok yang lebih bersifat reaksioner terhadap kebijakan sipil ketika menjalankan pemerintahan.
c)      Penguasa pretorian
Dalam pemerintahan juga menganut azas trias politika yaitu pemisahan kekuasaan  suatu pemerintahan kedalam tiga lembaga yaitu legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang), yudikatif (mengadili pelanggaran undang-undang).


 
B.       Saran
Demikian pembahasan seputar “pemerintahan dan Hubungan Sipil-Militer”. Penulis berharap agar makalah ini bisa bermanfaat sebagai sumbangsih keilmuan, menjadi referensi dan bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis sadar sepenuhnya, bahwa dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik disengaja maupun tidak, maka penulis mengharapkan masukan yang membangun untuk upaya perbaikan dikemudian hari.



























DAFTAR PUSTAKA

Ubaidilah, A.dkk.2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Civid Edukation) Hukum, Ham dan Masyarakat Madani. Jakarta:Iain Jakarta Press.