PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN SIPIL DAN MILITER
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: pancasila
Dosen Pengampu: Neti Herawati,
S.H
Disusun Oleh:
1.
Tri Dita Mulyani
Kelompok 7/Kelas C
PRODI
EKONOMI ISLAM
JURUSAN
SYARIAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO
TAHUN
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala
karunia-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah kewarganegaraan. Makalah
ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang
“Pemerintahan Dan Hubungan Sipil dan Militer”
Makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan
informasi bagi masyarakat dan mahasiswa lainnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A.
Latar belakang.............................................................................. 1
B.
Rumusan masalah........................................................................ 1
C.
Tujuan.......................................................................................... 1
BAB II PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN
SIPIL-MILITER........ 2
A.
Munculnya Pemerintahan............................................................. 2
B.
Tujuan Utama Terbentuknya
Pemerintahan.................................. 3
1.
Pemerintahan Sipil................................................................... 3
a.
Karakteristik dan Prinsip Dasar
Demokrasi Konstitusional. 4
b.
Nilai-Nilai Fundamental Demokrasi
Konstitusional............ 5
c.
Bentuk Pemerintahan Sipil.................................................. 6
2.
Pemerintahan Militer................................................................ 7
a.
Model Pemerintahan Militer
(Pretorianisme)...................... 7
b.
Trias Politika....................................................................... 9
3.
Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia........................................ 12
4.
Model dan Faktor Intervensi.................................................... 13
5.
Militer dan Hambatan
Demokratisasi....................................... 14
BAB III PENUTUP.................................................................................. 15
A.
Kesimpulan.............................................................................................. 15
B.
Saran......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibnu
Khaldun
menyimpulkan bahwa “manusia adalah mahluk sosial”. Sebelum mengenal
pemerintahan manusia hidup dalam suasana konflik untuk mempertahankan diri
sendiri. Hobbes menjelaskan konflik-konfik itu sebagai suatu keadaan peran
perang antara “semua melawan semua”. Huru hara tidak bisa dihindarkan, mereka
yang kuatlah yang menikmati kebebasan. Fase awal pemberian sanksi hukuman
dilakukan melalui tindakan penyiksaan
fisik seperti: potongan tangan, cambuk dan penyaliban.
Dalam
perkembangan selanjutnya sejalan dengan pesatnya peradaban manusia yang semakin
menyadari makna harga dari keberadaan sebuah pribadi yang tidak layak untuk
ditukar mutlak dengan kesalahan atau
kejahatan yang telah dilakukannya,maka diciptakanlah institusi yang lebih
berfungsi sebagai usaha perbaikan atau rehabilitas yaitu penjara. tidak ada
pemerintahan tanpa hukum, dan tidak ada hukum tanpa pemerintahan. Hukum adalah
jiwa dari setiap kekuasaan negara. Maka dari itu penulis menyusun makalah yang
berjudul “Pemerintahan Dan Hubungan Sipil-Militer”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana terbentuknya Pemerintah
?
2.
Apa saja bentuk-bentuk pemerintah
sipil dan militer?
3.
Bagaimana hubungan sipil-militer
di Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui bagaimana terbentuknya
pemerintahan.
2.
Mengetahui bentuk-bentuk
pemerintahan sipil-militer di Indonesia.
3.
Mengetahui hubungan sipil-militer
di Indonesia.
BAB II
PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN SIPIL-MILITER
A.
Munculnya Pemerintahan
Seorang
manusia tidak dapat hidup sendiri dan manusia tidak terlepas dari peraturan dan
norma sehingga kebebasan seseorang akan dibatasi oleh kebebasan orang lain dan
kemudian oleh Ibnu Khaldun disimpulkan bahwa “manusia adalah mahluk sosial”.
Sebelum mengenal pemerintahan yang sekarang ini manusia hidup dalam suasana
konflik untuk mempertaahankan diri sendiri. Pemaksaan dan pelanggaran hak orang
lain dilakukan oleh mereka yang kuat terhadap yang lemah. Hobbes menjelaskan
konflik-konflik itu sebagai suatu keadaan peran perang antara “semua melawan semua”.
Huru hara tidak bisa terhindarkan, mereka yang kuatlah yang menikmati
kebebasan. Sampai lahir kesadaran dari kalangan dari kalangan orang kuat yang
menjadi orang bijaksana untuk menciptakan situasi masyarakat yang teratur dan
bagaimana ketertiban itu dapat dipelihara. Pelaku tindak kejahatan harus
dihukum.
Berdasarkan
kesepakatan itu dibuatlah prinsip-prinsip nilai yang kelak dapat dianggap
sebagai aturan hukum dan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya yang disepakati
bersama oleh semua anggota masyarakat. Pada fase awal pemberian sanksi hukuman
dilakukan melalui tindakan penyiksaan fisik seperti potongan tangan, cambuk dan
penyaliban. Dalam perkembangan selanjutnya sejalan dengan pesatnya peradaban
manusia yang semakin menyadari makna harga dari keberadaan sebuah pribadi yang
tidak layak untuk ditukar mutlak dengan kesalahan atau kejahatan yang telah
dilakukannya, maka diciptakanlah institusi yang lebih berfungsi sebagai usaha
perbaikan atau rehabilitasi yaitu
penjara.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa produk pertama dari pemerintahan modern
setelah dibuatnya “hukum” adalah penjara. Dari perspektif ini munculnya suatu
negara atau pemerintahan pada awalnya ketika lahirnya kebutuhan bersama manusia
akan ketertiban hidup dan aturan-aturan hukum yang berlaku secara sah.
Keberadaan suatu negara atau pemerintahan tergantung kepada ada atau tidaknya
hukum ysng menjadi aturan masyarakat di dalamnya. Artinya, tidak ada
pemerintahan tanpa hukum, dan tidak ada hukum tanpa pemerintahan. Hukum adalah
jiwa dari setiap kekuasaan negara.
B.
Tujuan Utama Terbentuknya Pemerintahan
Dalam
kehidupan manusia terdapat tiga hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia.
Ketiga hak dasar tersebut adalah hak untuk hidup(life) tanpa rasa takut dan
ancaman dari siapa pun, hak untuk hidup bebas (liberty) untuk berbicara dan
berekspresi, untuk beragama dan bercita-cita dan sebagainya, dan hak untuk
memiliki sesuatu (property) baik materi maupun non material.
Menurut filsuf Barat John Lock,
tujuan asasi adalah untuk melindungi HAM. Dengan pengertian lain bahwa tujuan
utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban
dimana masyarakat bisa menjalani kehidupan mereka secara wajar. Pada hakikatnya
pemerintahan dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan untuk
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan
kemampuan dan kreatifitasnya untuk mencapai kemajuan bersama. Artinya,
pemerintahan demokratis merupakan suatu pemerintahan di mana warganegaralah
sesungguhnya otoritas atau kewenangan suatu pemerintahan berasal.
1.
Pemerintahan Sipil
Secara
etimologi kata pemerintahan diartikan sebagai badan yang melakukan kekuasaan
memerintah. Kata “perintah” mengandung pengertian adanya dua pihak yang
memerintah memiliki wewenang dan pihak yang diperintah memiliki kepatuhan.
Istilah pemerintahan sipil
digunakan sebagai kebalikan dari istilah pemerintahan militer.kedua istilah ini
muncul ketika terjadi pembahasan tentang pola hubungan antara elit sipil yang
diwakili oleh para politisi yang dipilih rakyat dalam pemilihan umum (pemilu)
dengan elit militer dalam suatu pemerintahan. Walaupun sipil dan militer
memiliki fungsi yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan dari roda
pemerintahan suatu negara.
Karakter umum intervensi
militer yang berlebihan terhadap jalannya suatu pemerintahan sipil secara
normatif biasa disebut dengan istilah pretorianisme.
Menurut
Nordlinger, pemerintahan pretorianisme atau pemerintahan militer sangat egalitarian,
kebebasan dan kelembagaan liberal yang dimiliki oleh pemerintahan sipil.
Unsur-unsur demokrasi lainnya yang terdapat dalam pemerintahan sipil adalah
adanya kebebasan beroposisi dan keadaan pemerintahan dapat berlangsung jika
keberadaan pihak sipil dihormati dan pemerintahan sipil dijalankan.
Sebaliknya,
pemerintahan militer pada umumnya memiliki karakteristik membatasi hak
berpolitik, kebebasan dan persaingan.
a.
Karakteristik dan Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi
Konstitusional
Karakteristik
dari demokrasi konstitusional adalah adanya unsur-unsur demokrasi di dalamnya
yang berbasis pada prinsip-prinsip:
1)
Demokrasi populis (Popular Democracy) yaitu menempatkan
warga negara sebagai sumber utama otoritas pemerintahan yang mendapatkan hak
untuk menjalankan roda pemerintahan dari rakyat.
2)
Mayoritas berkuasa dan hak
minoritas (Majority Rule and Minority
Rights) yaitu sekalipun pemerintahan dijalankan oleh suara mayoritas, namun
hak-hak dasar individu dari kelompok minoritas dilindungi.
3)
Pembatasan pemerintahan (limited Government), yaitu adanya
pembatasan kekuasaan pemerintah yang diatur oleh undang-undang dan konstitusi
baik tertulis maupun tak tertulis.
4)
Kekuasaan yang dibatasi oleh
mekanisme dan institusi (Institusional and
Procedural Limitations on Power), yaitu adanya kepastian institusi dan
prosedural yang membatasi kekuasaan pemerintah yang meliputi 4 unsur:
a)
Pemisahan dan pembagian kekuasaan
berdasarkan fungsinya masing-masing yang meliputi kekuasaan lgislatif,
eksekutif dan yudikatif.
b)
Kontrol dan Keseimbangan (Checks and Balances) yaitu bahwa ketiga
lembaga pemerintahan ini memiliki hak yang sama untuk saling melakukan kontrol
sehingga tercipta keseimbangan peran dalam pemerintahan.
c)
Proses Hukum (Due Process Of Law), yaitu keberadaan
HAM dilindungi oleh adanya jaminan proses hukum yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga hukum.
d)
Suksesi Kekuasaan Melalui
Pemilihan Umum (Leadership Sucession
Through Election),yaitu posisi penting dalam pemerintahan (misalnya
presiden dan wakilnya) ditentukan dan dijamin melalui mekanisme pemilihan umum
yang dilakukan secara bertahap, dan peralihan otoritas kekuasaan dilakukan
secara damai dan tertib.
b.
Nilai-Nilai Fundamental Demokrasi Konstitusional
Pada
dasarnya nilai-nilai fundamental demokrasi konstitusinal merupakan pancaran
dari nilai-nilai martabat kemanusiaan dan nilai-nilai yang dimiliki setiap
orang yakni:
1)
Hak-hak Dasar (Basic Rights), yaitu bahwa tugas utama
suatu pemerintahan demokrasi adalah melindungi hak-hak fundamental manusia: hak
hidup, hak mendapatkan kebebasan dan hak memiliki.
2)
Kebebasan Berekspresi dan
Berkesadaran (Freedom of Conscience and
Expression) sebagaimana keduanya mendasari nilai-nilai konstitusi demokrasi
tentang hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan hak untuk mengembangkan diri.
3)
Privasi dan Masyarakat Sipil (Privacy and Civil Society) yaitu adanya
perlindungan atas kesatuan antara hak pribadi dan sosial yang meliputi
keluarga, pribadi, agama, organisasi dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya.
4)
Keadilan (Justice) yang meliputi:
a)
Pemerataan keadilan (Distributive justice)
b)
Kebenaran keadilan (Corrective justice) atau keputusan hukum
yang adil dan tepat sasaran.
c)
Mekanisme keadilan (procedural justice) atau keputusan hukum
yang dilakukan secara adil melalui lembaga-lembaga hukum.
5)
Persamaan (Equality) yang meliputi:
a)
Persamaan dalam partisipasi
politik, yakni kesamaan hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.
b)
Persamaan dihadapan hukum atau
tidak adanya diskriminasi hukum yang didasari oleh perbedaan gender, ras, usia,
agama, etnis, afiliasi politik dan kelas sosial.
c)
Persamaan ekonomi atau semua
warga negara memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
kesejahteraan dan mendapatkan pelayanan dari negara dalam memajukan kehidupan
ekonominya.
6)
Keterbukaan (Openess) bahwa demokrasi konstitusional dilandasi oleh filsafat
politik keterbukaan atau kebebasan berpendapat, dan ketersediaan informasi
melalui pers yang bebas dan kebebasan berekspresi dalam segala lapangan
kehidupan.
c.
Bentuk Pemerintahan Sipil
1)
Model Tradisional
Adalah
pemerintahan yang tidak memiliki perbedaan yang jelas antara elit sipil dan
militer. Sekalipun kedua golongan ini berbeda, dimana umumnya mereka memegang
salah satu peran kekuasaan saja, namun kepentingan dan pandangan mereka tentang
kekuasaan sama. Karena tidak ada perbedaan prinsipil inilah konflik serius
antara sipil dan militer pada waktu itu tidak terjadi. Dengan demikian tidak
terjadi campur tangan militer terhadap elit sipil dalam kerajaan.
2)
Model Liberal
Adalah
pemerintahan yang mendasarkan pada pemisahan para elitnya menurut keahlian dan
tanggung jawab masing-masing sesuai dengan jabatannya dalam pemerintahan.
Posisi militer dalam model pemerintahan ini berada di bawah kendali sipil,
kekuasaannya dibatasi pada tanggung jawab mempertahankan negara dari serangan
luar dan kekacauan yang timbul di dalam negeri.
Terdapat
prinsip penting yang harus dijalankan oleh elit pada model liberal ini, yakni
prinsip untuk tidak melakukan intervensi terhadap persoalan-persoalan
profesional militer.
3)
Model Serapan
Model
ini adalah suatu pemerintahan sipil dengan karakteristik kebijakan sipil untuk
mendapatkan pengabdian dan loyalitasnya melalui penanaman ide dan penempatan
para ahli politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata.
Model
pemerintahan ini telah dapat
dipraktikkan secara meluas dalam rezim-rezim komunis. Prinsip pemerintahan
model ini adalah partai (sipil) harus menguasai senjata dan senjata tidak akan
dibenarkan untuk menguasai partai.
2.
Pemerintahan Militer (Pretorianisme)
Konsep pemerintahan militer lebih banyak mengacupada
fenomena keterlibatan atau intervensi militer dalam arena politik atau
urusan-urusan pemerintahan suatu negara. Alasan keterlibatan ini menurut
Nordlinger disebabkan oleh pandangan subyektif kaum militer. Peranan tentara
dalam pemerintahan sipil dikenal dengan istilah Pretorianisme. Istilah ini sering digunakan dalam pembahasan
tentang peran militer dalam suatu pemerintahan, atau diartikan dengan
pengertian pemerintahan militer.
Campur tangan militer terhadap pemerintahan sipil
melalui beberapa cara yang kemudian menjadi ciri khas rezim militeristik.
Diantara bentuk campur tangan militer itu antara lain:
a)
Ancaman militer st653ecara
terang-terangan untuk tidak melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil jika
tuntutan mereka ajukan dikabulkan.
b)
Mengambil alih kekuasaan
pemerintah dan mengubah rezim sipil menjadi rezim militer. Ciri-ciri rezim :
1)
Tentara mendapatkan kekuasaannya
melalui kudeta.
2)
Para pejabat tinggi negara telah
bertugas atau terus bertugas dalam angkatan bersenjata.
3)
Pemerintahan masih terus bergantung
kepada dukungan perwira militer aktif dalam mempertahankan kekuasaaannya.
a.
Model Pemerintahan Militer (Pretorianisme)
1.
Moderator Pretorian
Ciri
khasnya model ini adalah mereka menggunakan hak veto atas keputusan
pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. Dalam hal
hubungan mereka dengan elit sipil, kadangkala mereka menggunakan ancaman kudeta
terhadap pemerintahan sipil apabila terjadi ketidaksepakatan.
Model
ini mencoba menghindarkan dirinya untuk menguasai atau mendominasi pemerintahan
secara penuh. Prilaku politik mereka hanya sebatas mempertahankan status quo,
menjaga keseimbangan atau ketidak seimbangan kekuasaan diantara fraksi-fraksi
atau kelompok politik sipil yang bersaing, menjalankan UUD dalam kehidupan
politik dan kelembagaan, melarang setiap percobaan penting dalam hal pengalihan
hasil ekonomi, dan menjaga stabilitas politik dan pemerintahan.
Moderator
ini lebih memfokuskan kepada pengaruh konflik politik. Di kawasan Amerika Latin
kudeta suksesi oleh militer sering terjadi apabila suatu golongan sipil yang
baru berkuasa mencoba melakukan perubahan penting dalam pengalihan kekuasaan
politik.
2.
Pengawal Pretorian
Model pengawal pretorian bersifat
reaksioner terhadap kebijakan sipil ketika menjalankan pemerintahannya. Setelah
para moderator berhasil menggulingkan kekuasaan pemerintah, mereka mengubah
diri sebagai pengawal proterian, sebelum akhirnya berkuasa penuh atas
pemerintahan.
Setelah
menggulingkan elit sipil, umumnya kelompok ini akan memegang tampuk pemerintahan
dalam periode singkat, antara dua sampai empat tahun. Seperti halnya kelompok
pertama, kalangan pengawal pretorian tidak setuju dengan perubahan politik
serta akan mempertahankan aturan politik lama. Perbedaan mencolok kelompok ini
adalah keyakinan mereka bahwa sasaran atau agenda politik yang mereka canangkan
akan lebih mudah dicapai apabila mereka sendiri yang menguasai pemerintahan.
Sebagai
kelompok reaksioner mereka berusaha melakukan perubahan-perubahan,
prinsip-prinsip dasar dalam politik, ekonomi dan kehidupan sosial. Namun
seluruh agenda perubahan yang mereka lakukan tetap dalam koridor membatasi
kegiatan dan hak sipil. Bagi kelompok ini, perubahan mendasar dalam hal-hal
tersebut tidaklah dibutuhkan, karena mereka tidak menganggap penting untuk sebuah
rezim yang dapat menguasai orang banyak.
3.
Penguasa Proterian
Perbedaan
model kelompok ini dengan yang lainnya adalah luasnya wilayah kekuasaan serta
tingginya cita-cita politik dan ekonomi yang mereka agendakan. Model ini
menguasai pemerintahan dan mendominasi rezim yang berkuasa. Tingginya kekuasaan
penguasa proterian ini kadangkala mereka menganggap dirinya sebagai kelompok
modernis radikal atau revolusioner.
Kelompok
pengawal proterian berkuasa dalam tempo sementara dan berjanji akan mengembalikan
kekuasaan ke tangan sipil dalam waktu singkat, sebaliknya penguasa proterian tidaklah demikian, umumnya
mereka mengatakan bahwa rezim sipil akan dipulihkan kembali.
b.
Trias Politika
Trias
politika adalah pemisahan kekuasaan (separation
of powers) dalam suatu pemerintahan suatu negara kedalam tiga lembaga:
a)
Kekuasaan Legislatif (membuat
undang-undang)
b)
Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan
undang-undang)
c)
Kekuasaan Yudikatif (mengadili
atas pelanggaran undang-undang).
Secara normatif Trias Politika adalah suatu prinsip
bahwa kekuasaan-kekuasaan tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian
diharapkan hak-hak azasi warga negara lebih terjamin. Doktrin ini pertama kali
dikenalkan oleh John Locke (1632-1784) dan Montesquieu (1689-1755).
Tugas dan Wewenang Lembaga-Lembaga Pemerintah
(a) Legislatif
Badan
legislatif adalah badan yang membuat undang-undang. Anggotanya dinamakan Dewan
Perwakilan Rakya (DPR) atau parlemen. Badan legislatif dapat dikatakan sebagai
badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum (rakyat) yang
mengikat seluruh masyarakat.Badan legislatif dipilih melalui pemilu dan
berdasarkan sistem kepartaian.
Prinsip pokok sistem pemilihan
umum:
(1)
Single-member
contituency atau
sistem pemilu distrik yaitu satu daerah pemilihan memilih satu wakil.
(2)
Multi-member
constituency atau
sistem proporsional yaitu suatu daerah pemilihan memilih beberapa wakil,
biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional.
Fungsi
badan legislatif:
(1)
Menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. Untuk ini DPR
diberikan hak inisiatif, hak mengadakan amandemen terhadap rancangan
undang-undang, dan hak budget.
(2)
Mengontrol badan eksekutif dalam
arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang telah ditetapkan, mensahkan perjanjian-perjanjian internasional yang
dibuat oleh badan eksekutif dan menuntut dan mengadili pejabat tinggi, termasuk
presiden.
Hak-hak badan Legislatif:
(1)
Hak bertanya
(2)
Hak interpelasi: meminta
keterangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaannya tentang suatu bidang.
(3)
Hak angket:anggota badan
legislatif berhak mengadakan penyekidikan sendiri.
(4)
Hak mosi: umumnya hak ini
merupakan hak kontrol paling ampuh. Jika badan legislatif menerima suatu mosi
tidak percaya, maka dalam sistem parlementer kabinet harus mengundurkan diri.
(b) Eksekutif
Badan
eksekutif terdiri dari kepala negara beserta menteri-menterinya. Badan
eksekutif dalam arti luas mencakup para pegawai negeri sipil dan militer. Dalam
sistem presidensial menteri-menteri merupakan pembantu presiden dan langsung di
pimpin olehnya, sedangkan sistem parlementer para menteri di pimpin oleh
seorang perdana menteri.
Tugas
badan eksekutif menurut asas trias politika yaitu hanya melaksanakan
kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta
menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif.
Wewenang badan eksekutif:
(1)
Diplomatik: menyelenggarakan
hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.
(2)
Administratif: melaksanakan
undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya dan menyelenggarakan
administrasi negara.
(3)
Militer: mengatur angkatan
bersenjata, menyelenggarakan perang serta keamanan dan pertahanan negara.
(4)
Yudikatif: memberi grasi, amnesti
dan sebagainya.
(5)
Legislatif: merencanakan
rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai
menjadi undang-undang.
(c) Yudikatif
Lembaga
yudikatif memiliki wewenang judisial yang bertugas menjalankan kehakiman, baik
di lapangan hukum publik (pidana,administrasi negara) dan di lapangan hukum
privat (perdata, dagang) baik dikalangan sipil maupun militer.
Ketentuan
dasar mengenai organ dan wewenang kehakiman:
Pasal
24:
1.
Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
2.
Susunan dan kekuasaan badan-badan
kehakiman itu diatur dalam undang-undang.
Pasal 25:
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhatikan
sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
3.
Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
Menurut
ikrar Nusa Bhakti, secara umum di negara-negara barat terdapat model hubungan
sipil-militer yang menekankan “supremasi sipil atas militer” atau militer
adalah sub ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis
melalui pemilihan umum. Pada kenyataannya makna hubungan sipil-militer di
Inndonesia lebih mengandung pengertian adanya “kerja sama”, “hubungan
kemitraan”, atau “keselarasan antara sipil dan militer”. Secara historis pola
hubungan sipil-militer Indonesia lebih banyak pembagian peran antara
sipil-militer yang sangat nyata pada masa revolusi kemerdekaan.
Keikutsertaan militer dalam
penataan sosial dan administrasi dimasa revolusi melahirkan dwi fungsi ABRI,
artinya banyak tentara menjalankan fungsi politik maupun pemerintahan.
Pada
periode selanjutnya konsep dwifungsi ABRI berasal dari konsepsi “jalan
tengah”yang dikemukakan pimpinan Angkatan Darat (AD) Jenderal A.H. Nasution,
November 1958. Konsep jalan tengah ini pada dasarnya menyatakan bahwa
keterlibatan ABRI dalam pembinaan negara bukanlah untuk mendominasi dan
memonopoli kekuasaan.
Pola dwifungsi tidak hanya
terjadi di kalangan militer, tetapi juga dikalangan sipil Indonesia. Munculnya
laskar-laskar rakyat di masa revolusi, satuan-satuan tugas (satgas) partai dan
duduknya gubernur atau wakil gubernur militer di berbagai daerah menjadi fakta
sejarah adanya tradisi peran ganda dikalangan sipil. Besarnya intervensi
militer dimasa orde baru,ABRI tampil sebagai kekuatan politik yang paling
dominan. Dwifungsi ABRI telah diterjemahkan secara sangat fleksibel, sehingga
membuka peluang seluas-luasnya bagi kalangan ABRI untuk berperan diberbagai
bidang non-Hankam. Keterlibatan ABRI tidak hanya dibidang tidak hanya di bidang
eksekutif, tetapi juga dibidang legislatif, yudikatif dan bahkan diberbagai
bidang ekonomi dan sosial termasuk olahraga.
Dalam
sejarah politik Indonesia pada masa demokrasi parlementer, partai politik
pernah mendominasi dan mengontrol militer secara subyektif. Dengan kata lain
kontrol subyektif sipil terhadap militer telah terjadi secara mendalam dalam
tubuh militer, termasuk dalam masalah penentuan posisi jabatan di dalam stuktur
TNI, khususnya angkatan darat.
4.
Model dan Faktor Intervensi Militer
1) Model intervensi
a.
Saluran konstitusi yang resmi
b.
Kolusi dan atau kompetensi dengan
otoritas sipil
c.
Intimidasi terhadap otoritas
sipil
d.
Ancaman nonkooperasi dengan
keharusan terhadap otoritas sipil
e.
Penggunaan kekerasan pada
otoritas sipil
2) Faktor-faktor yang mendorong
militer melakukan intervensi
a.
Faktor internal ABRI
a)
Intervensi kalangan perwira
militer karena dilandasi ole motivasi untuk membela atau memajukan kepentingan
militer yang berlawanan dengan norma konstitusi.
b)
Intervensi militer didorong oleh
kepentingan kelas untuk membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah yang
darinya mereka berasal.
c)
Kemahiran profesional dikalangan
militer menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi
kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kelompok sipil.
d)
Intervensi militer dalam politik
sebagai sebab ambisi pribadi perwira-perwira yang haus wibawa dan kuasa.
b.
Faktor eksternal ABRI
a)
Intervensi militer dalam politik
sebagai akibat dari struktur politik masyarakat yang masih rendah dan rentan.
b)
Kegagalan sistem politik dari
kalangan sipil yang memerintah atau kelompok sipil dipandang tidak mampu
memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas politik.
c)
Kelompok sipil dianggap tidak
mampu melakukan modernisasiekonomi.
d)
Terjadinya disintegrasi nasional.
5.
Militer dan Hambatan Demokratisasi
Suatu
negeri dikatakan telah menjadi demokratis jika didukung oleh fondasi politik,
sosial dan ekonomi yang kuat.tetapi untuk menuju ke arah demokratisasi harus
ditopang oleh kekuatan-kekuatan pembebas.
Untuk
mewujudkan tatanan demokrasi seluruh struktur kepentingan perlu melibatkan diri
salah satunya adalah unsur angkatan bersenjata atau militer yang ingin menjaga
otonomi institusinya dan kelompok lainnya seperti: kaum borjusi, teknokrat dan
polisi, dan kelas pekerja.
Monshipouri mencatat
faktor-faktor penghambat demokrasi yang salah satunya berasal dari
institusional-institusional yang meliputi empat aspek terdiri dari negara,
militer, agama, dan birokrasi. Menurutnya peran militer dalam menentukan suatu
bangsa akan menjadi demokrasi, totalitarian atau otoritarian sangatlah penting.
Maka dari itu kalangan militer harus terlibat aktif bagi lahirnya masyarakat
sipil melalui komitmen dan partisipasi militer.
Untuk menjalankan komitmen
demokrasi dalam perspektif hubungan sipil-militer harus memfokuskan pada
terciptanya supremasi sipil (civilan
supremacy) yang dijalankan oleh para politisi sipil yang dipilih rakyat
dalam pemilu. Perundang-undangan yang mengatur peran dan wewenang militer dalam
negara perlu dibentuk untuk melakukan kontrol obyektif sipil atas militer. Dan
tak kalah pentingnya kontrol masyarakat dan komponen-komponennya seperti pers
dan LSM yang bertujuan untuk menghindari kemungkinan munculnya kolusi antara
elit sipil dengan elit militer baik dalam perumusan UU maupun pelaksanaannya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manusia pada
dasarnya membutuhkan bantuan orang lain. Jadi, manusia adalah mahluk sosial. Sebelum
mengenal pemerintahan manusia hidup dalam suasana konflik untuk mempertaahankan
diri sendiri. Pemaksaan dan pelanggaran hak orang lain dilakukan oleh mereka yang
kuat terhadap yang lemah. Secara etimologi kata pemerintahan diartikan sebagai
badan yang melakukan kekuasaan memerintah. Kata “perintah” mengandung
pengertian adanya dua pihak yang memerintah memiliki wewenang dan pihak yang
diperintah memiliki kepatuhan.
Pemerintahan
dibentuk menjadi 2 bagian yaitu:
1.
Pemerintahan sipil
Didalam pemerintahan sipil ada tiga model pemerintahan yaitu:
a)
Model tradisional adalah
pemerintahan yang tidak memiliki perbedaan yang jelas antara elit sipil dan
militer.
b)
Model liberal adalah pemerintah
yang berdasar pada pemisahan para elit menurut keahlian dan tanggung jawab
sesuai dengan jabatannya.
c)
Model serapan adalah suatu
pemerintahan sipil dengan karakteristik kebijakan sipil untuk mendapatkan
pengabdian dan loyalitas melalui ide.
2.
Pemerintahan militer
Dalam
pemerintahan militer ada tiga model pemerintahan yaitu:
a)
Moderator pretorian adalah
pemerintahan militer menggunakan hak veto atas keputusan pemerintahan dan
politik, tanpa menguasai pemerintahan.
b)
Pengawal pretorian adalah
kelompok yang lebih bersifat reaksioner terhadap kebijakan sipil ketika
menjalankan pemerintahan.
c)
Penguasa pretorian
Dalam pemerintahan juga
menganut azas trias politika yaitu pemisahan kekuasaan suatu pemerintahan kedalam tiga lembaga yaitu
legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang),
yudikatif (mengadili pelanggaran undang-undang).
B.
Saran
Demikian
pembahasan seputar “pemerintahan dan Hubungan Sipil-Militer”. Penulis berharap
agar makalah ini bisa bermanfaat sebagai sumbangsih keilmuan, menjadi referensi
dan bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis sadar sepenuhnya, bahwa
dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik
disengaja maupun tidak, maka penulis mengharapkan masukan yang membangun untuk
upaya perbaikan dikemudian hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Ubaidilah,
A.dkk.2000. Pendidikan Kewarganegaraan
(Civid Edukation) Hukum, Ham dan Masyarakat Madani. Jakarta:Iain Jakarta
Press.